Gili Trawangan

Pemandangan indah Pantai Gili Trawangan disiang hari, sungguh tempat yang bagus untuk mengisi waktu liburan

Candi Borobudur

Candi Budha terbesar di abad ke-9 yang berukuran 123 x 123 meter, Candi Budha ini memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya

Curug Gendang

Air terjun ini memiliki tinggi 7 meter luas 10 meter dengan kedalaman 13 meter dan berada di ketinggian 170 meter di atas permukaan laut

Sunset di Pantai Hotel Resort Anyer

Ketika liburan tiba paling enak jika bermain dipantai dan menikmati sunset di tempat ini

Pantai Tanjung Layar

Pantai ini merupakan salah satu surga tersembunyi yang ada di Indonesia

Kamis, 31 Mei 2012

Danau Situ Gede

Hari itu sangat melelahkan sekali setelah selesai bermaen di Curug Cigamea dan Curug Seribu. Gak terasa hari mulai gelap dan kami semua memutuskan utk menginap di Bogor. Esok harinya sebelum pulang ke Serang kami semua mampir sebentar ke Danau Situ Gede.

Danau Situ G

 Berfoto ria dihutan deket Danau Situ Gede

Danau Situ Gede adalah nama sebuah danau kecil (Sd., situ atau setu berarti telaga) yang terletak di Kelurahan Situgede, Bogor Barat, Kota Bogor.

Terletak di tepi Hutan Dramaga, yakni hutan penelitian milik Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan, telaga yang memiliki luas sekitar 6 hektare ini merupakan tempat rekreasi harian bagi warga Bogor. Para pengunjung dapat berperahu, memancing, atau berjalan-jalan di kerimbunan hutan. Danau dan hutan ini pun kerap digunakan sebagai lokasi pembuatan film dan sinetron.
Lokasi wisata ini berada kurang lebih 10 km dari pusat Kota Bogor, atau sekitar 3 km di utara Terminal Bubulak. Danau Situ Gede sebetulnya berdekatan, atau berada dalam satu sistem, dengan beberapa situ yang lain di dekatnya. Yakni Situ Leutik (kini sudah menghilang), Situ Panjang, dan Situ Burung. Yang terakhir ini terletak di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

Tidak berapa jauh dari danau ini terdapat Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR, Center for International Forestry Research; dan ICRAF, The World Agroforestry Center), Stasiun Klimatologi atau BMKG Dramaga dan Kampus IPB Dramaga.


Jembatan untuk menuju hutan penelitian IPB

                                        
Sejuknya berteduh dibawah pohon



Curug Seribu

Setelah puas bermaen di curug cigamea, kami memutuskan untuk mengunjungi Curug Seribu yg berada gak jauh dr curug cigamea. Curug Seribu memiliki ketinggian air yang mencapai 100 meter dengan curahan air yang besar. Curug ini berada di ketinggian antara 750-1.050 meter dari permukaan laut (dpl) dan termasuk dalam Kawasan Wisata Gunung Salak Endah (GSE) di kaki Gunung Salak di bawah naungan TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak).  Selain Curug Seribu masih ada curug laen di kawasan ini yaitu Curug Cihurang dan Curug Ngumpet.  Semua curug tersebut terletak dekat dengan jalan raya sehingga mudah dijangkau. Berjarak lebih kurang 38 km dari kota Bogor hingga Pintu Gerbang Kawasan Wisata Gunung Salak Endah.  Selanjutnya dari pintu gerbang ini berjarak lebih kurang 3 km hingga tiba di pintu masuk Curug Seribu.  Dari pintu masuk dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak sekitar 1 km menuju lokasi Curug Seribu.  Kondisi jalan ke lokasi ini menurun, curam dan licin dengan waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 1 jam untuk mencapai ke lokasi Curug Seribu

Curug Seribu

                            
 Perjalanan menuju Curug Seribu

                            
Istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan

Deras nya air di Curug Seribu





Rabu, 30 Mei 2012

Curug Cigamea

Alasan utama gw liburan ke Curug Cigamea ini berawal dari ajakan teman yang asli orang Bogor. Dia ngebujuk gw untuk main ke rumah nya dan akan mengenalkan tetangga nya yang cantik ke gw (sapa sih cowok yg gak mo diknalin ama cwek cantikk, secara gw msh jomblo..Hehheee). Maka dari itu, tambah semangat lah gw untuk pergi jalan-jalan ke Curug Cigamea. Pagi-pagi sekali gw  bareng  teman-teman berangkat dari Serang menuju Bogor. Setelah menempuh perjalanan selama 4 jam menggunakan motor, akhirnya  sampailah gw di Curug Cigamea.

                                          
 Narsis didepan Curug Cigamea bareng temen2
                                                         
Birunya air di Curug Cigamea


                                                
 Wow.. Sungguh indah air terjun nya...
                                     
                            
 Berenang dicurug cigamea bikin segerrr








Pulau Tidung

Pulau Tidung merupakan pulau terbesar dalam gugusan pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Pulau hunian penduduk ini memiliki luas sekitar 109 ha dengan populasi sekitar 5000 jiwa. Pulau Tidung terhampar membujur panjang dari barat ke timur dan menjadi 2 bagian (Tidung Besar & Tidung kecil) mempunyai Objek- objek yang dapat dikunjungi seperti: 

Jembatan penghubung antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Para pengunjung menamai jembatan ini “Jembatan Cinta”. Lokasi ini paling banyak didatangi wisatawan. Jembatan yang panjangnya sekitar 2.5 km ini terkesan eksotik dan menawan. Apalagi pada saat “sunrise” & “sunset” tiba. Para wisatawan berlomba menuju jembatan untuk berfoto- foto menikmati keindahannya atau mengabadikannya dengan berfoto- foto.

Para bocah melompat dari Jembatan Cinta

Jembatan Cinta

Pantai di Tidung Besar

Pantai di Tidung Kecil

Berpose di Jembatan Cinta



Senin, 28 Mei 2012

Kisah Seorang Kakak dan Adik


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" 
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik... hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. " Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! "Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!

Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.." 
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.

Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.



Bisakah kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, ... tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita ..



Senangkan Orang Tua Semasa Hidup


Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu
mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja 
keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, ayah sendirian di 
kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya. 

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. 
Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya 
menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala 
Lumpur. 

“Nggak usah. lain kali saja.!”jawab ayah. Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami 
saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama 
kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya. 

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih
libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. 
Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang
diberikannya. “Saya sibuk, ayah. tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir 
minggu ini saya akan antar ayah,” balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek
mereka. “Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah.” 
katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang
naik bus sendirian. 

“Nggak usah saja yah.” bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke 
kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah 
sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. “Ayah ini benar-benar nggak mau
mengerti yah. saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!” balas saya terus keluar menghidupkan 
mobil. 

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam 
mobil, istri saya lalu berkata, “Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-
baik! Kasihan khan dia.!” Saya terus membisu. 

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan 
ayah. “Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah,” katanya singkat. Di kantor saya 
termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus 
buat ayah. 

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. “Bus berangkat pk. 
14.00,” kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong
rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera 
berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam 
perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun. 

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.! Setibanya di 
stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya Pamit dan terus turun dari bus.
Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus 

berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat 
tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan 
teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu
minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun. 

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di 
kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di kantornya. 
Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon 
ayah di kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. 
Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. “Nggak mungkin
belum tiba,” jawab saya sambil meninggikan suara. 

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. “Ayah sudah tiada.” 
kata sepupu saya disana. “Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak
nafas saat Maghrib tadi.” Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh 
terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan 
bertanya, “Ada apa, bang?” Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru
bisa berkata, “Ayah sudah tiada!!” 

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat Itu saya sadar 
betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada 
ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu
pikiran. 

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya sangat 
merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, 
seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-
anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan 
belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya. 

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-
robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika 
teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat 
bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini. 

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup. 
Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi. 



Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka. 
Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.



Kisah Menyentuh Hati


Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur, Filipina, yang setiap hari mengambil rute melintasi daerah tanah yang berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan.

Setiap kali berhasil menyebrangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke Gereja tiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan, sahabatnya.
Tindakannya ini selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.

“Bagaimana kabarmu, Andy? Apakah kamu akan ke Sekolah?”

“Ya, Bapa Pendeta!” balas Andy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.

Dia begitu memperhatikan keselamatan Andy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut, “Jangan menyebrang jalan raya sendirian, setiap kali pulang sekolah, kamu boleh mampir ke Gereja dan saya akan memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat.”

“Terima kasih, Bapa Pendeta.”

“Kenapa kamu tidak pulang sekarang? Apakah kamu tinggal di Gereja setelah pulang sekolah?”

“Aku hanya ingin menyapa kepada Tuhan.. sahabatku.”

Dan Pendeta tersebut meninggalkan Andy untuk melewatkan waktunya di depan altar berbicara sendiri, tetapi pastur tersebut bersembunyi di balik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andy kepada Bapa di Surga.

“Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanya kue ini.
Terima kasih buat kue ini, Tuhan! Tadi aku melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya.. lucunya, aku jadi tidak begitu lapar.

Lihat ini selopku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan.Engkau tahu sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa..
paling
tidak aku tetap dapatpergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa dari temanku sudah berhenti sekolah, tolong Bantu mereka supaya bisa bersekolah lagi.
Tolong Tuhan.

Oh, ya..Engkau tahu kalau Ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang Ibu.
Tuhan, Engkau mau lihat lukaku??? Aku tahu Engkau dapat menyembuhkannya, disini..disini.aku rasa Engkau tahu yang ini kan….??? Tolong jangan marahi ibuku, ya..?? dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makan dan biaya sekolahku..itulah mengapa dia memukul aku.

Oh, Tuhan..aku rasa, aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang sangat cantik dikelasku, namanya Anita. menurut Engkau, apakah dia akan menyukaiku??? Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.

Hei.ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira??? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu.
Aku berharap Engkau menyukainya. Oooops..aku harus pergi sekarang.”

Kemudian Andy segera berdiri dan memanggil Pendeta .

“Bapa Pendeta..Bapa Pendeta..aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyebrang jalan sekarang!”

Kegiatan tersebut berlangsung setiaphari, Andy tidak pernah absen sekalipun.

Pendeta Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di Gerejanya setiap hari Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Tuhan.. suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.

Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga tidak bisa memimpin gereja dan dirawat di rumah sakit. Gereja tersebut diserahkan kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga mengutuki orang yang menyinggung mereka.

Ketika mereka sedang berdoa, Andypun tiba di Gereja tersebut usai menghadiri pesta Natal di sekolahnya, dan menyapa “Halo Tuhan..Aku..”

“Kurang ajar kamu, bocah!!!tidakkah kamu lihat kalau kami sedang berdoa???!!! Keluar, kamu!!!!!”

Andy begitu terkejut,”Dimana Bapa Pendeta Agaton..??Seharusnya dia membantuku menyeberangi jalan raya. dia selalu menyuruhku untuk mampir lewat pintu belakang Gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus, karena hari ini hari ulang tahunNya, akupun punya hadiah untukNya..”

Ketika Andy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar Gereja.

“Keluar kamu, bocah!..kamu akan mendapatkannya!!!”

Andy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyebrangi jalan raya yang berbahaya tersebut di depan Gereja. Lalu dia menyeberang, tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang – disitu ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andy melindungi hadiah tersebut didalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut. Waktunya hanya sedikit untuk menghindar.dan Andypun tewas seketika. Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang sudah tidak bernyawa lagi.

Tiba-tiba, entah muncul darimana ada seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut, namun dengan penuh airmata dating dan memeluk bocah malang tersebut. Dia menangis.

Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya,”Maaf tuan..apakah anda keluarga dari bocah yang malang ini? Apakah anda mengenalnya?”

Tetapi pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam berkata,”Dia adalah sahabatku.” Hanya itulah yang dikatakan.

Dia mengambil bungkusan hadiah dari dalam saku baju bocah malang tersebut dan menaruhnya didadanya. Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh bocah tersebut, kemudian keduanya menghilang. Orang-orang yang ada disekitar tersebut semakin penasaran dan takjub..

Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sangat mengejutkan.

Diapun berkunjung ke rumah Andy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dengan kedua orang tua Andy.

“Bagaimana anda mengetahui putra anda telah meninggal?”

“Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari.” Ucap ibu Andy terisak.

“Apa katanya?”

Ayah Andy berkata,”Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andy, sepertinya Dia begitu mengenal Andy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andy dari wajahnya dan memberikan kecupan dikeningnya, kemudian Dia membisikkan sesuatu.

“Apa yang dikatakan?”

“Dia berkata kepada putraku..” Ujar sang Ayah. “Terima kasih buat kadonya.
Aku akan berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaku.” Dan sang ayah melanjutkan, “Anda tahu kemudian semuanya itu terasa begitu indah.. aku menangis tapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu.aku menangis karena bahagia..aku tidak dapat menjelaskannya Bapa Pendeta, tetapi ketika dia meninggalkan kami, ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku.. Aku tidak dapat melukiskan sukacita dalam hatiku. aku tahu, putraku sudah berada di Surga sekarang.
Tapi tolong Bapa Pendeta .. Siapakah pria ini yang selalu bicara dengan putraku setiap hari di Gerejamu? Anda seharusnya mengetahui karena anda selalu di sana setiap hari, kecuali pada saat putraku meninggal.

Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes dipipinya, dengan lutut gemetar dia berbisik,”Dia tidak berbicara kepada siapa-siapa… kecuali dengan Tuhan.”





Mencintai Kamu Apa Adanya

Tahun itu dia mendadak muncul, Xiao Cien namanya. Tampangnya tidak seberapa. Di bawah dukungan teman sekamar, dengan memaksakan diri aku bersahabat dengan dia. Secara perlahan, aku mendapati bahwa dia adalah orang yang penuh pengertian dan lemah lembut.

Hari berlalu, hubungan kami semakin dekat, perasaan di antara kami semakin menguat, dan juga mendapat dukungan dari teman-teman.

Pada suatu hari di tahun kelulusan kami, dia berkata padaku, "Saya telah mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi, tetapi di Amerika, dan saya tidak tahu akan pergi berapa lama, kita bertunangan dulu, bolehkah?"

Mungkin dalam keadaan tidak rela melepas kepergiannya, saya mengangguk.

Oleh karena itu, sehari sesudah hari wisuda, hari itu menjadi hari pertunangan kami berdua. Setelah bertunangan tidak berapa lama, bersamaan dengan ucapan selamat dan perasaan berat hati dalam hatiku, dia menaiki pesawat dan terbang menuju sebuah negara yang asing. Saya juga mendapatkan sebuah pekerjaan yang bagus, memulai hari bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore. Telepon internasional merupakan cara kami untuk tetap berhubungan dan melepas kerinduan.

Suatu hari, sebuah hal yang naas terjadi pada diriku. Pagi hari, dalam perjalanan menuju tempat kerja, sebuah taksi demi menghindari sebuah anjing di jalan raya, mendadak menikung tajam.....

Tidak tahu lewat berapa lama saya pingsan. Saat siuman telah berada di rumah sakit, dimana anggota keluarga menunggu mengelilingi tempat tidur saya. Mereka lantas memanggil dokter.

"Pa?" saya ingin memanggilnya tapi tidak ada suara yg keluar.

Mengapa? Mengapa saya tidak dapat memanggilnya? Dokter mendatangiku dan memeriksa, suster menyuntikkan sebuah serum ke dalam diriku, mempersilahkan yang lainnya untuk keluar terlebih dahulu.

Ketika siuman kembali, yang terlihat adalah raut wajah yang sedih dari setiap orang, sebenarnya apa yang terjadi. Mengapa saya tidak dapat bersuara?

Ayah dengan sedihnya berkata, "Dokter bilang syaraf kamu mengalami luka, untuk sementara tidak dapat bersuara, lewat beberapa waktu akan membaik."

"Saya tidak mau!" saya dengan berusaha memukul ranjang, membuka mulut lebar-lebar berteriak, tapi hanya merupakan sebuah protes yang tidak bersuara.

Setelah kembali ke rumah, kehidupanku berubah. Suara telepon yang didambakan waktu itu, merupakan suara yang sangat menakutkan sekarang ini. Saya tidak lagi keluar rumah, juga menjadi seorang yang menyia-nyiakan diri, ayah mulai berpikir untuk pindah rumah.

Dan dia? di belahan bumi yang lain, yang diketahui hanyalah saya telah membatalkan pertunangan kami, setiap telepon darinya tidak mendapatkan jawaban, setiap surat yang ditulisnya bagaikan batu yang tenggelam ke dasar lautan.

Dua tahun telah berlalu, saya secara perlahan telah dapat keluar dari masa yang gelap ini, memulai hidup baru, juga mulai belajar bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Suatu hari, Xiao Cien memberitahu bahwa dia telah kembali, sekarang bekerja sebagai seorang insinyur di sebuah perusahaan. Saya berdiam diri, tidak mengatakan apapun. Mendadak bel pintu berbunyi, berulang-ulang dan terdengar tergesa-gesa. Tidak tahu harus berbuat apa, ayah menyeretkan langkah kakinya yang berat, pergi membuka pintu.

Saat itu, di dalam rumah mendadak hening. Dia telah muncul, berdiri di depan pintu rumahku. Dia mengambil napas yang dalam, dengan perlahan berjalan ke hadapanku.

Dengan bahasa isyarat yang terlatih, dia berkata, "Maafkan saya! Saya terlambat satu tahun baru menemuimu. Dalam satu tahun ini, saya berusaha dengan keras untuk mempelajari bahasa isyarat, demi untuk hari ini. Tidak peduli kamu berubah menjadi apapun, selamanya kamu merupakan orang yang paling kucintai. Selain kamu, saya tidak akan mencintai orang lain, marilah kita menikah!"