Senin, 28 Mei 2012

Senangkan Orang Tua Semasa Hidup


Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu
mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja 
keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, ayah sendirian di 
kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya. 

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. 
Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya 
menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala 
Lumpur. 

“Nggak usah. lain kali saja.!”jawab ayah. Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami 
saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama 
kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya. 

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih
libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. 
Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang
diberikannya. “Saya sibuk, ayah. tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir 
minggu ini saya akan antar ayah,” balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek
mereka. “Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah.” 
katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang
naik bus sendirian. 

“Nggak usah saja yah.” bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke 
kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah 
sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. “Ayah ini benar-benar nggak mau
mengerti yah. saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!” balas saya terus keluar menghidupkan 
mobil. 

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam 
mobil, istri saya lalu berkata, “Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-
baik! Kasihan khan dia.!” Saya terus membisu. 

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan 
ayah. “Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah,” katanya singkat. Di kantor saya 
termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus 
buat ayah. 

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. “Bus berangkat pk. 
14.00,” kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong
rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera 
berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam 
perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun. 

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.! Setibanya di 
stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya Pamit dan terus turun dari bus.
Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus 

berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat 
tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan 
teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu
minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun. 

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di 
kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di kantornya. 
Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon 
ayah di kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. 
Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. “Nggak mungkin
belum tiba,” jawab saya sambil meninggikan suara. 

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. “Ayah sudah tiada.” 
kata sepupu saya disana. “Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak
nafas saat Maghrib tadi.” Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh 
terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan 
bertanya, “Ada apa, bang?” Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru
bisa berkata, “Ayah sudah tiada!!” 

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat Itu saya sadar 
betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada 
ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu
pikiran. 

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya sangat 
merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, 
seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-
anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan 
belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya. 

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-
robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika 
teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat 
bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini. 

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup. 
Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi. 



Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka. 
Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.



0 komentar:

Posting Komentar